Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur

19 April 2024

Oleh : Admin Mushida

mushida
Menjadi Hamba yang Pandai Bersyukur

Part I

Beberapa tahun silam, sembari mengemil sebatang cokelat, jemariku berselancar di atas layar smartphone. Saat membuka aplikasi YouTube, podcast wawancara Deddy Corbuzier dengan Syekh Ali Jaber (Allahu Yarham) yang ditayangkan di kanal YouTube Deddy langsung muncul di bagian paling atas berandaku.

Podcast tersebut cukup viral pada saat itu. Telah ditonton sebanyak 11 juta kali hanya dalam kurun 3 hari semenjak ditayangkan pertama kali. Luar biasa.

Beberapa hari sebelum wawancara dengan Deddy Corbuzier, terjadi peristiwa penusukan terhadap Syekh Ali Jaber saat sedang menghadiri acara wisuda tahfidz di Lampung yang cukup menggegerkan publik. Wajar saja jika wawancara perdana pasca peristiwa penusukan tersebut menjadi trending dan viral.

Ada banyak hal menarik dan menggugah dari penuturan Syekh Ali Jaber dalam podcast tersebut. Tetapi ada satu hal yang cukup menyentakku. Apa itu?

Tentang rasa syukur. Jika biasanya orang berucap innalillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun ketika tertimpa musibah, berbeda dengan Syekh Ali Jaber.

Sungguh luar biasa, kalimat pertama yang Syaikh Ali Jabet ucapkan ketika penusukan itu terjadi adalah, “Alhamdulillah.” Ya. Ia mengucapkan alhamdulillah. Segala puji bagi Allah. Sebaris kalimat yang biasa kita ucapkan sebagai bentuk kesyukuran dan terima kasih kita kepada Allah ketika ketika mendapatkan kebahagiaan atau kenikmatan.

“Ini takdir Allah, alhamdulillah. Ini dari-Mu Ya Allah, alhamdulillah,” ucap Ali Jaber ketika itu.

Ia bersyukur, masih diberi usia panjang dan keselamatan, meski luka tusuk cukup dalam tak terhindarkan. Ia bersyukur, atas luputnya mata pisau dari sasaran tuju sebenarnya yang telah pelaku targetkan.

Ia bersyukur dengan memuji Allah, karena meyakini tak ada satu pun peristiwa di muka bumi yang terjadi tanpa campur tangan Allah. Setelah itu, barulah ia mengucapkan kalimat istirja’. Sebagai bentuk kepasrahan dan mengembalikan segala urusan kepada Rabb Maha Rahman.

Jika biasanya orang bersyukur ketika mendapat nikmat atau kesenangan, maka Syekh Ali Jaber menekankan rasa syukur bukan hanya ketika mendapat nikmat, tetapi juga saat tertimpa musibah. Bersyukur ketika mendapat nikmat itu hal biasa, bahkan sudah menjadi kewajiban kita. Tetapi bersyukur saat ditimpa musibah, kemalangan, kesengsaraan dan sebagainya, mungkin hanya segelintir orang yang mampu melakukannya. Ini jenis syukur yang sangat berat untuk diaplikasikan. Inilah syukur level tertinggi.

Seusai menonton podcast Syekh Ali Jaber tersebut, aku termenung. Merenung. Teringat percakapan beberapa hari sebelumnya dengan suami.

“Bang, coba bikin taman yang cantik kayak taman-taman di perumahan itu, loh. Biarpun kecil tapi tertata kan enak dipandang. Nggak seperti taman pekarangan kita yang amburadul, berantakan,” ujarku kala itu.

Untuk yang ke sekian kalinya, aku merepet tentang pekarangan rumah, yang menurutku amburadul tak tertata. Memang, pekarangan kami terlihat cukup asri dengan beberapa jenis bebungaan dan pepohonan yang ditanam suami. Namun bagiku tetap saja jauh dari ekspektasi.

“Bagus begini taman kita, kok dibilang jelek… Banyak orang yang puji taman kita. Katanya bagus, adem.” Suamiku seperti biasa juga, membela taman buatannya.

“Ah, nggak ada bagus-bagusnya, kok. Berantakan gak tertata gitu, penataannya gak beraturan. Itu pohon-pohon pisang bikin jelek pemandangan. Masa’ depan rumah kelihatan kayak kebun. Belum lagi itu pohon nangka daunnya berguguran terus, bikin kotor halaman. Rasanya pengen kutebang saja, pusing kepala melihatnya,” gerutuku panjang kali lebar.

Suami hanya terkekeh. “Saaay… Kurang bersyukur kamu ini. Bagus ada pohon di depan rumah, biar rumah kita adem, nggak terlalu panas. Coba bayangkan kalau nggak ada pohon-pohon ini, apa nggak panas tuh rumah.”

Deg! Kurang bersyukur. Podcast Syekh Ali Jaber seperti terngiang kembali di telingaku, menyengatku, menohokku. Ya, kurang bersyukur, itulah aku.

Bagaimana aku akan mampu bersyukur ketika sedang ditimpa musibah, sedangkan dengan berjuta kenikmatan yang Allah berikan, masih saja kufur?

Bagaimana aku akan mampu bersyukur ketika berada dalam kesempitan dan kesulitan, sedangkan dalam keadaan lapang dan senang saja masih kerap melontarkan keluhan demi keluhan?

Astaghfirullah… Astaghfirullah… Wa atuubu ilaih…

Lamat lamat, lirik indah nasyid Antara Dua Cinta-nya The Zikr mengalun di benakku. “Apa yang ada jarang disyukuri… Apa yang tiada sering dirisaukan. Nikmat yang dikecap baru kan terasa bila hilang apa yang diburu… Timbul rasa jemu bila sudah di dalam genggaman…”

Begitulah sifat dasar kebanyakan manusia. Tak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Selalu menginginkan lebih, lebih dan lebih.

Sudah punya rumah kecil sederhana, ingin rumah yang lebih besar. Sudah punya rumah yang lebih besar, ingin punya rumah yang lebih megah, lebih mewah dan lebih indah lagi. Padahal kalau ia mau menengok sedikit saja ke bawah, betapa banyaknya orang yang masih bermimpi untuk memiliki rumah.

Sudah punya kendaraan berupa motor untuk menunjang mobilitas, ingin punya mobil. Sudah punya mobil Avanza, lihat tetangga punya mobil Alphard, jadi ingin mobil Alphard juga. Lihat di televisi ada artis pamer mobil Ferrari atau Lamborghini, nafsu ingin memiliki mobil super mewah pun membuncah. Padahal di luar sana, tak sedikit orang, yang jangankan memiliki motor, sekerat nasi untuk mengganjal perut saja mereka tak punya.

Sudah punya suami yang baik dan penyayang, gara-gara membaca postingan orang lain tentang suaminya yang super royal dan romantis, jadi menuntut suami untuk seperti itu juga. Memasang ekspektasi yang terlalu tinggi, bahwa suaminya harus begini dan begini. Dan ketika sang suami tidak bisa memenuhi ekspektasi itu, dianggaplah sang suami tidak becus, tidak perhatian, tidak sayang sama istri, dst. Ujung-ujungnya jadi bertengkar, bahkan tak sedikit berakhir di pengadilan. Naudzubillah.

Sudah mampu hidup sederhana dengan gaji yang meski pas-pasan tetapi mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari, inginnya lebih. Akhirnya segala cara ditempuh untuk memperoleh kekayaan dengan cara instan. Tak jarang dengan menghalalkan yang haram. Ah, betapa nafsu, jika tidak dikendalikan dengan rasa syukur, ia akan membawa kita kepada kufur.

Tentang syukur

Syukur berasal dari kata syukuran yang berarti mengingat akan segala nikmat-Nya. Menurut bahasa adalah suatu sifat yang penuh kebaikan dan rasa menghormati serta mengagungkan atas segala nikmat-Nya, baik diekspresikan dengan lisan, dimantapkan dengan hati maupun dilaksanakan melalui perbuatan.

Dengan demikian, syukur adalah sikap berterima kasih, yang tak hanya mencakup hati dan lisan, tetapi juga tindakan. Maka syukur selain dirasakan dan diucapkan, juga harus diwujudkan dengan tindakan nyata, berupa ibadah, melakukan kebaikan dan ketaatan.

Lafal syukur (syukru) yang terdiri atas rangkaian huruf syin, kaf, dan ra’, secara bahasa juga bermakna membuka, menampakkan, menyingkap, dan menunjukkan. Karenanya, makna syakara merupakan lawan dari kafara (kufur) yang bermakna menutup atau tidak mau mensyukuri nikmat Allah SWT.

Seorang peneliti Jepang, Toshihiko Izutsu, profesor di Institute of Cultural and Linguistik Studies, Keio University menyatakan, Al Qur’an mengulang berkali kali, luar biasa banyaknya, kata syukur yang dipertentangkan dengan kufur. Di sisi lain kufur dipertentangkan dengan iman. Apakah ini berarti orang yang tidak bersyukur, otomatis kafir? Setara dengan kafirnya orang tak beriman? Naudzubillah.

*/Zahratun Nahdhah, Ketua Departemen Perkaderan PP Mushida